http://baak.gunadarma.ac.id/
Fasilitas-Fasilitas di BAAK :
Home:Untuk menuju bagian awal BAAK
Tentang BAAK:profil baak,visi,misi
FAQ
SITUS SAP
Buku Pedoman
Situs Jurusan:Melihat Keterangan Jurusan
Info Pelayanan
Jadwal Akademik:jadwal Perkuliah,Libur,Ujian
News:berita harian tentang segala sesuatu yang berada di baak
Info Mahasiswa:untuk mencari tentang mahasiswa yang berada di Universitas Gunadarma
Search Google
Kelebihan Fasilitas Baak :
1.memiliki fitur-fitur yang mudah di perlajari oleh mahasiswa atau orang lain.
2.memudahkan mahasiswa dalam perkuliaahan.
3.Memiliki Info-Info yang yang menguntungkan dan menarik.
4.Mudah untuk mengaksesnya.
Kekurangan Fasilitas Baak:
1.info news lama dalam mengupdate,berita masih yang lama.
2.data mahasiswa kadang-kadang tidak sesuai,
3.pada fitur/fasilitas hampir tidak ada kekurangan.
4.kurang menarik fitur-fiturnya
Minggu, 31 Oktober 2010
Kamis, 28 Oktober 2010
tugas softskill
http://baak.gunadarma.ac.id/
Fasilitas-Fasilitas di BAAK :
Home:Untuk menuju bagian awal BAAK
Tentang BAAK:profil baak,visi,misi
FAQ
SITUS SAP
Buku Pedoman
Situs Jurusan:Melihat Keterangan Jurusan
Info Pelayanan
Jadwal Akademik:jadwal Perkuliah,Libur,Ujian
News:berita harian tentang segala sesuatu yang berada di baak
Info Mahasiswa:untuk mencari tentang mahasiswa yang berada di Universitas Gunadarma
Search Google
Kelebihan Fasilitas Baak :
1.memiliki fitur-fitur yang mudah di perlajari oleh mahasiswa atau orang lain.
2.memudahkan mahasiswa dalam perkuliaahan.
3.Memiliki Info-Info yang yang menguntungkan dan menarik.
4.Mudah untuk mengaksesnya.
Kekurangan Fasilitas Baak:
1.info news lama dalam mengupdate,berita masih yang lama.
2.data mahasiswa kadang-kadang tidak sesuai,
3.pada fitur/fasilitas hampir tidak ada kekurangan.
4.kurang menarik fitur-fiturnya
Rabu, 27 Oktober 2010
kematian ilmu sosial di indonesia
Dalam makalahnya, Prof. Sunyoto Usman mengatakan buku yang terkenal dari Selo Soemardjan adalah “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial masyarakat Jawa di Yogyakarta. Faktor penting dalam perubahan masyarakat Jawa adalah ideologi politik,
“Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2 hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara, dari dalam posisi sub-ordinasi (didominasi, diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat, transparansi dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik dan otokratis menjadi pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik semacam ini bukan sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih, mengembangkan dan mempertahankan kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia.” (Sunyoto Usman dalam Makalah “Selo Soemardjan, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Jejaring”)
Tidak seperti revolusi sosial di Perancis yang digerakkan oleh kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk menggulingkan kekuasaan raja yang absolut, perubahan sosial di Yogyakarta malah digerakkan oleh pucuk pimpinan dan pemilik kekuasaan itu sendiri yakni Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sehingga para bangsawan dan rakyat secara keseluruhan melihat perubahan yang digulirkan oleh sang Raja sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk perbaikan ke depan. Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa gejolak yang berarti, meskipun membongkar sebagian sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai harmoni telah berhasil membawa perubahan tanpa berdarah-darah. Namun, saat ini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita cendrung mengabaikan nilai-nilai harmonisasi ini. Produk politik yang memberlakukan pemilihan kepala daerah, presiden dan wakil presiden melalui pemilihan langsung telah membelah masyarakat pada kandidat-kandidat yang bertarung. Segmentasi yang terjadi terus meruncing dalam kampanye-kampanye negatif, saling menjatuhkan. Maka upaya perangkulan (koalisi) setelah pemilihan menjadi sia-sia, karena pendukung masing-masing kandidat sudah membawa alam bawah sadar kebencian satu sama lain.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai pelopor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan dukungan teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu kepada rakyat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka sekat-sekat ketat kraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan menjadikan kraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun untuk kepentingan bersama. Sejarah UGM menggambarkan keterbukaan itu. Bagaimana di awal-awal pendirianya, UGM memakai beberapa ruang di kraton untuk kegiatan kuliah. Kita tidak melihat keterbukaan seperti ini pada kesultanan-kesultanan lain yang ada di Indonesia.
Perubahan sosial membutuhkan teori baru dan metodologi baru seiring perkembangan masyarakat. Di sisi lain, teori baru dan metodologi baru lahir dari penelitian serius terhadap fenomena yang terjadi pada masyarakat. Pemikiran Selo Soemardjan secara cerdas dan komprehensif berhasil memotret perubahan sosial di Yogyakarta. Namun, cukup berat untuk membawa analisis yang beliau pakai untuk konteks sekarang. Oleh karena itu, diperlukan ilmuan-ilmuan sosial baru yang mampu memotret kondisi masyarakat saat ini.
Kebutuhan terhadap lahirnya ilmuan-ilmuan baru yang mampu menawarkan teori baru dalam menelisik fenomena sosial, menurut Prof. Sunyoto mengalami kemandegan. Hal ini disebabkan perguruan tinggi sebagai agent pencetak intelektual mengalami krisis. Ada 3 krisis yang dialami oleh perguruan tinggi: Pertama, mahasiswa pascasarjana yag diharapkan mampu memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “patner diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak professor yang dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan DIKTI sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh kata Prof. Sunyoto, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena dan masalah secara monolog.
MAKALAH ILMU SOSIAL TENTANG KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA DI INDONESIA (LEBARAN/IDUL FITRI)
Ditinjau dari segi agama jelas lebaran merupakan hari besar agama Islam, setiap muslim di dunia sangat menantikan datangnya hari lebaran. Lebaran merupakan hari kemenangan setiap muslim yang telah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan (kalender Hijriah). Pada bulan Ramadhan setiap muslim di dunia wajib melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh, pada tanggal 1 Syawal barulah umat merayakan hari kemenangan Idul Fitri yang sering kita sebut dengan lebaran.
Di hari lebaran setia muslim melakukan ibadah shalat Idul Fitri di pagi hari, dan setelah itu mereka berkumpul dengan keluarga masing – masing dan biasa sungkem kepada orang yang lebih tua, lalu kepada semua kerabat-kerabat dekat, setelah itu saling bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga dekat dan tetangga jauh, kadang-kadang kepada orang yang bertemu diperjalanan.
Lebaran merupakan hari yang spesial dimana setiap muslim kembali ke fitrahnya, seolah-olah seperti bayi yang baru lahir ke dunia, dan pada malam lebaran setiap muslim wajib membayar zakat paling lambat sebelum shalat Idul Fitri selesai. Zakat berfungsi untuk mensucikan harta dan hati kita, lalu zakat yang diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu atau fakir miskin.
Hari lebaran memang hari yang sangat spesial karena di hari itu. Kita dapat menyambung tali silaturahmi yang mungkin ada yang sudah terputus sekian bulan lamanya. Di dalam Al-Qur'an juga kita diperintahkan supaya kita harus tetap mempererat tali silaturahmi dengan sesama muslim
Lebaran dan agama sangatlah erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lainnya. Lebaran merupakan hari yang istimewa yang diberikan oleh Allah SWT bagi muslim di dunia untuk dapat merenungkan tetang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya.
Setiap muslim memang wajib mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan karena hal itu sangat berguna bagi kita semua. Supaya kita dapat menahan segala hawa nafsu yang ada dalam pikiran kita dan lebih meningkatkan lagi ibadah kita terhadap Allah SWT, untuk mendapatkan ampunan, serta hidayah dari Allah SWT
Di hari lebaran setiap muslim dapat merenungkan segala kesalahan – kesalahan atau dosa-dosa yang diperbuatnya dan bisa menjadikan dirinya lebih baik di hari –hari kemarin dan di hari yang akan datang bisa mendapatkan hidup yang benar-benar baik.
Di hari lebaran setia muslim melakukan ibadah shalat Idul Fitri di pagi hari, dan setelah itu mereka berkumpul dengan keluarga masing – masing dan biasa sungkem kepada orang yang lebih tua, lalu kepada semua kerabat-kerabat dekat, setelah itu saling bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga dekat dan tetangga jauh, kadang-kadang kepada orang yang bertemu diperjalanan.
Lebaran merupakan hari yang spesial dimana setiap muslim kembali ke fitrahnya, seolah-olah seperti bayi yang baru lahir ke dunia, dan pada malam lebaran setiap muslim wajib membayar zakat paling lambat sebelum shalat Idul Fitri selesai. Zakat berfungsi untuk mensucikan harta dan hati kita, lalu zakat yang diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu atau fakir miskin.
Hari lebaran memang hari yang sangat spesial karena di hari itu. Kita dapat menyambung tali silaturahmi yang mungkin ada yang sudah terputus sekian bulan lamanya. Di dalam Al-Qur'an juga kita diperintahkan supaya kita harus tetap mempererat tali silaturahmi dengan sesama muslim
Lebaran dan agama sangatlah erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lainnya. Lebaran merupakan hari yang istimewa yang diberikan oleh Allah SWT bagi muslim di dunia untuk dapat merenungkan tetang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya.
Setiap muslim memang wajib mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan karena hal itu sangat berguna bagi kita semua. Supaya kita dapat menahan segala hawa nafsu yang ada dalam pikiran kita dan lebih meningkatkan lagi ibadah kita terhadap Allah SWT, untuk mendapatkan ampunan, serta hidayah dari Allah SWT
Di hari lebaran setiap muslim dapat merenungkan segala kesalahan – kesalahan atau dosa-dosa yang diperbuatnya dan bisa menjadikan dirinya lebih baik di hari –hari kemarin dan di hari yang akan datang bisa mendapatkan hidup yang benar-benar baik.
Impotensi Kronis Ilmu Sosial di Indonesia
Harus diakui bahwa saat ini bangsa Indonesia saat ini berada di tepi jurang krisis
multidimensional yang benar-benar menakutkan. Krisis demi krisis bermunculan di surat
kabar, mulai dari krisis ekonomi dan moneter, krisis politik, krisis hukum, krisis moral,
krisis berkepanjangan, krisis kepribadian nasional, dan berpuluh-puluh frasa dengan kata
krisis, sehingga justru malah sering menimbulkan ambiguitas pemaknaan kata krisis itu
sendiri. Tiap orang dengan sekenanya menggunakan kata “krisis” tanpa sering mendalami
apa sebenarnya krisis, dan mengapa kata “krisis” ditempatkan di sana. Semua orang
sepertinya boleh membentuk frasa dengan kata krisis, dan yang lebih aneh lagi, frasa itu
terasa masuk akal dengan realitas sosial yang memang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Penyakit Bangsa yang tak Terdiagnosis
Menilik pendefenisian kata “krisis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pengertian dari kata “krisis” adalah 1) keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit,
2) keadaan yang genting, kemelut, 3) keadaan yang suram (tentang ekonomi, moral, dan
sebagainya. Dengan demikian disesuaikan dengan frasa yang terbentuk, maka kondisi
Indonesia memang tergambarkan sangat berbahaya dan menakutkan. Indonesia saat ini
membutuhkan treatment yang luar biasa intensif, di mana sekadar hasil diagnosa yang
menyertakan frasa dengan kata krisis di depannya, tak mungkin cukup.
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah permasalahan
sosial dan kultural. Semua orang dengan mudah melabelkan frasa dengan kata “krisis”
karena diagnosis terhadap penyakit Indonesia yang tak kunjung dirumuskan dengan baik.
Semua orang merasa dirinya cukup representatif untuk menjadi ilmuwan sosial untuk
memberikan diagnosis sehingga tak seorangpun dari kita memiliki rumusan yang benar,
apa yang sebenarnya dihadapi oleh bangsa kita.
Ini semua terjadi karena ilmu sosial adalah ilmu yang telanjur dianggap mudah
oleh anak-anak bangsa. Ilmu sosial dianggap sebagai ilmu hafalan dan cenderung retoris
bahkan tidak terlalu membutuhkan kemampuan analitik. Ilmu pengetahuan alam yang
cenderung lebih matematis jauh lebih dianggap bergengsi. Akhirnya lahirlah “sarjana”
hukum, “ahli” antropolog, “ahli” ekonomi, “ahli” sosiologi, “ahli” sejarah kebanyakan
yang mengandalkan adu mulut. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa mereka yang
berada di area ilmu pengetahuan alam dan teknologi – dengan anggapan akan kemudahan
ilmu sosial – dengan sekenanya memberi berbagai komentar akan apa yang seharusnya
menjadi area bermain ilmuwan sosial - tanpa memiliki pengetahuan bahkan rujukan
pustaka yang cukup.
Benarkah ilmu sosial lebih mudah daripada ilmu alam? Di mata awam, ilmu alam
sarat dengan rumus-rumus matematika yang cenderung sulit untuk dipahami. Sementara
formulasi matematika, di kalangan ilmuwan sosial seringkali dianggap sarat
reduksionisme, kuantifikasi yang naif, karena menganggap bahwa terlalu banyak hal di
bidang sosial yang tak mungkin diukur dan didekati secara kuantitatif. Akibatnya adalah
timbulnya polaritas yang bukan lagi antara ilmu sosial dan ilmu alam, namun lebih
dangkal lagi yakni antara ilmu kualitatif dan ilmu kuantitatif. Dengan sekenanya timbul
pelabelan bahwa ilmu alam itu kuantitatif sementara ilmu sosial kualitatif. Pelabelan inilah
yang merusak tatanan ilmu sosial, karena perdebatan ilmu bukan lagi akan obyek yang
akan didekati, namun lebih kepada metodologi apa yang digunakan untuk mendekati
obyek permasalahan. Apa yang seharusnya dapat didekati secara kuantitatif atau ditarik ke
dalam struktur aljabar yang ketat ditinggalkan, sehingga berakibat tumpulnya analisis
yang dihasilkan.
Yang diukur dan dianalisis dari sebuah fenomena alam adalah faktor-faktor yang
cenderung tetap dengan universalitas yang dapat dilokalisasi dengan mudah, sehingga
analisis ilmu alam di Eropah akan bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia, dengan
memperhatikan variabel-variabel lokal yang mudah dideteksi, seperti percepatan gravitasi,
kelembaban udara, dan seterusnya. Berlawanan dengan hal itu, ilmu sosial berhadapan
dengan manusia sebagai penentu utama variabel tersebut. Sudah sangat terbukti bahwa
analisis sosiologis atau ekonomi yang berkembang di negara maju belum tentu efektif di
Indonesia. Ada similaritas di dalam berbagai fenomena sosial di seluruh dunia, namun
tidak sama. Contohnya, krisis di Eropa memiliki similaritas dengan di Indonesia, namun
tentunya tidak sama oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan kultur dan ideologi yang
berkembang. Meminjam istilah yang kerap digunakan dalam ilmu alam, terlalu banyak
noise atau pengganggu (disturbance) dalam berbagai fenomena sosial. Artinya pendekatan
analitis dalam ilmu sosial harus benar-benar kuat di mana asumsi-asumsi yang lahir dan
menjadi aksiomanya harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode pemodelan
permasalahan sosial tidak boleh dibuat sekenanya karena berbeda dengan ilmu alam, ilmu
sosial tidak memiliki laboratorium untuk mencobanya secara trial and error.
Laboratorium sosial adalah masyarakat itu sendiri, artinya pemodelan fenomena sosial
harus dibuat berbasis simulasi dengan rule-rule yang bisa dipertanggungjawabkan dengan
baik. Setelah lolos dengan analisis dan ujian simulatif yang ketat, baru bisa diterapkan di
dalam realitas masyarakat.
Ilmu Kompleksitas sebagai Jawaban
Kompleksitas adalah sebuah perkembangan matematika yang lahir dari teori yang
dikenal dengan sebutan teori chaos, sebuah teori yang melihat obyek sebagai sebuah
sistem yang sangat tergantung kepada kondisi awal sistem dan sangat sensitif terhadap
perubahan yang mengganggunya. Pada awal kelahirannya, teori ini dikembangkan oleh
ilmuwan meteorologi, Edwin Lorentz, yang pada akhirnya sampai kepada kesimpulannya
yang menjadi pemeo di kalangan ilmuwan chaos, “kepakan kupu-kupu di pantai Amerika
Selatan bisa menyebabkan badai besar di New York”.
Kompleksitas memandang semua sistem sebagai sebuah sistem yang senantiasa
berubah secara dinamis dan adaptif. Ia memandang sistem berubah secara iteratif dan
mengikuti similaritas tertentu dalam tiap iterasinya: sangat tergantung kepada kondisi
awal iterasi dan sangat peka terhadap gangguan di mana tiap gangguan kecil dapat
mengakibatkan perubahan besar yang muncul (emergence), tak dapat diprediksi secara
linier dari pola analisis biasa.
Sistem sosial adalah juga sistem yang evolutif yang berupaya mencari daerahdaerah
optimum sehingga ia dapat berjalan secara efektif. Inilah pernyataan yang
membangun ilmu sosial, bahwa ada similaritas tertentu sehingga ada kondisi yang sangat
mirip di berbagai fenomena sosial di berbagai belahan dunia. Namun kondisi awal berupa
faktor budaya, ekonomi, dan sosial yang berbeda serta “gangguan” sistem yang berbeda
menuntut analisis solutif yang berbeda pula untuk tiap tatanan masyarakat. Permasalahan
sosial harus dijawab secara spasio-temporal karena tingginya sensitivitas sistem sosial
tersebut.
Perkembangan teknologi komputer telah memungkinkan analisis komputasional
yang serumit apapun untuk diselesaikan. Berbagai fenomena sosial akan dapat lebih tajam
didekati dengan metode ini. Semua fenomena sosial yang selama ini didekati secara
kualitatif dapat ditarik ke level struktur permasalahan, untuk kemudian disimulasikan dan
melihat faktor besar yang mungkin muncul (emergent) untuk dapat diantisipasi dalam
realitas masyarakat yang ada. Ini menjadi perbedaan yang mendasar dengan metode
konvensional, yang berupaya mengukur semua faktor secara kuantitatif dan membuat
model statistikanya, seolah sistem sosial adalah sistem yang linier dan statik.
Bagaikan air yang mengalir dengan turbulensinya yang sangat sensitif,
demikianlah sistem sosial yang mengalir dan mudah sekali berubah. Inilah yang
menyebabkan sistem sosial sedemikian rumit bahkan dekat dengan analisis Navier-Stokes
yang menggambarkan kondisi batas tertentu sistem yang bisa membawa sistem ke dalam
kondisi chaotik hidrodinamika. Namun tentu saja dengan bermodelkan pengetahuan
analitik yang biasa digunakan dalam ilmu alam ini bukanlah satu-satunya modal dasar
untuk memahami sistem sosial dengan pendekatan ini. Setiap analisis yang lahir harus
dimodali dengan pengetahuan akan sistem sosial komprehensif dan ketat, yang selama ini
didekati dengan pendekatan kualitatif. Hal ini jelas diperlukan mengingat kerumitan
sistem sosial tersebut yang jauh lebih ruwet daripada fenomena alam biasa. Dengan
pengetahuan akan fenomena sosial yang kualitatif tadi, ilmu sosial akan menjadi kaya
dengan bagaimana melakukan pengukuran secara sintaktik sistem sosial yang ada, dan
merumuskan bagaimana sistem tersebut ber-evolusi. Itulah sebabnya perlu antar-muka
yang baik antara ilmuwan sosial yang kenal betul dengan fenomena sosial dengan
ilmuwan alam yang mungkin telah terbiasa menggunakan metode ini dalam mengamati
fenomena alam.
multidimensional yang benar-benar menakutkan. Krisis demi krisis bermunculan di surat
kabar, mulai dari krisis ekonomi dan moneter, krisis politik, krisis hukum, krisis moral,
krisis berkepanjangan, krisis kepribadian nasional, dan berpuluh-puluh frasa dengan kata
krisis, sehingga justru malah sering menimbulkan ambiguitas pemaknaan kata krisis itu
sendiri. Tiap orang dengan sekenanya menggunakan kata “krisis” tanpa sering mendalami
apa sebenarnya krisis, dan mengapa kata “krisis” ditempatkan di sana. Semua orang
sepertinya boleh membentuk frasa dengan kata krisis, dan yang lebih aneh lagi, frasa itu
terasa masuk akal dengan realitas sosial yang memang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Penyakit Bangsa yang tak Terdiagnosis
Menilik pendefenisian kata “krisis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pengertian dari kata “krisis” adalah 1) keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit,
2) keadaan yang genting, kemelut, 3) keadaan yang suram (tentang ekonomi, moral, dan
sebagainya. Dengan demikian disesuaikan dengan frasa yang terbentuk, maka kondisi
Indonesia memang tergambarkan sangat berbahaya dan menakutkan. Indonesia saat ini
membutuhkan treatment yang luar biasa intensif, di mana sekadar hasil diagnosa yang
menyertakan frasa dengan kata krisis di depannya, tak mungkin cukup.
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah permasalahan
sosial dan kultural. Semua orang dengan mudah melabelkan frasa dengan kata “krisis”
karena diagnosis terhadap penyakit Indonesia yang tak kunjung dirumuskan dengan baik.
Semua orang merasa dirinya cukup representatif untuk menjadi ilmuwan sosial untuk
memberikan diagnosis sehingga tak seorangpun dari kita memiliki rumusan yang benar,
apa yang sebenarnya dihadapi oleh bangsa kita.
Ini semua terjadi karena ilmu sosial adalah ilmu yang telanjur dianggap mudah
oleh anak-anak bangsa. Ilmu sosial dianggap sebagai ilmu hafalan dan cenderung retoris
bahkan tidak terlalu membutuhkan kemampuan analitik. Ilmu pengetahuan alam yang
cenderung lebih matematis jauh lebih dianggap bergengsi. Akhirnya lahirlah “sarjana”
hukum, “ahli” antropolog, “ahli” ekonomi, “ahli” sosiologi, “ahli” sejarah kebanyakan
yang mengandalkan adu mulut. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa mereka yang
berada di area ilmu pengetahuan alam dan teknologi – dengan anggapan akan kemudahan
ilmu sosial – dengan sekenanya memberi berbagai komentar akan apa yang seharusnya
menjadi area bermain ilmuwan sosial - tanpa memiliki pengetahuan bahkan rujukan
pustaka yang cukup.
Benarkah ilmu sosial lebih mudah daripada ilmu alam? Di mata awam, ilmu alam
sarat dengan rumus-rumus matematika yang cenderung sulit untuk dipahami. Sementara
formulasi matematika, di kalangan ilmuwan sosial seringkali dianggap sarat
reduksionisme, kuantifikasi yang naif, karena menganggap bahwa terlalu banyak hal di
bidang sosial yang tak mungkin diukur dan didekati secara kuantitatif. Akibatnya adalah
timbulnya polaritas yang bukan lagi antara ilmu sosial dan ilmu alam, namun lebih
dangkal lagi yakni antara ilmu kualitatif dan ilmu kuantitatif. Dengan sekenanya timbul
pelabelan bahwa ilmu alam itu kuantitatif sementara ilmu sosial kualitatif. Pelabelan inilah
yang merusak tatanan ilmu sosial, karena perdebatan ilmu bukan lagi akan obyek yang
akan didekati, namun lebih kepada metodologi apa yang digunakan untuk mendekati
obyek permasalahan. Apa yang seharusnya dapat didekati secara kuantitatif atau ditarik ke
dalam struktur aljabar yang ketat ditinggalkan, sehingga berakibat tumpulnya analisis
yang dihasilkan.
Yang diukur dan dianalisis dari sebuah fenomena alam adalah faktor-faktor yang
cenderung tetap dengan universalitas yang dapat dilokalisasi dengan mudah, sehingga
analisis ilmu alam di Eropah akan bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia, dengan
memperhatikan variabel-variabel lokal yang mudah dideteksi, seperti percepatan gravitasi,
kelembaban udara, dan seterusnya. Berlawanan dengan hal itu, ilmu sosial berhadapan
dengan manusia sebagai penentu utama variabel tersebut. Sudah sangat terbukti bahwa
analisis sosiologis atau ekonomi yang berkembang di negara maju belum tentu efektif di
Indonesia. Ada similaritas di dalam berbagai fenomena sosial di seluruh dunia, namun
tidak sama. Contohnya, krisis di Eropa memiliki similaritas dengan di Indonesia, namun
tentunya tidak sama oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan kultur dan ideologi yang
berkembang. Meminjam istilah yang kerap digunakan dalam ilmu alam, terlalu banyak
noise atau pengganggu (disturbance) dalam berbagai fenomena sosial. Artinya pendekatan
analitis dalam ilmu sosial harus benar-benar kuat di mana asumsi-asumsi yang lahir dan
menjadi aksiomanya harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode pemodelan
permasalahan sosial tidak boleh dibuat sekenanya karena berbeda dengan ilmu alam, ilmu
sosial tidak memiliki laboratorium untuk mencobanya secara trial and error.
Laboratorium sosial adalah masyarakat itu sendiri, artinya pemodelan fenomena sosial
harus dibuat berbasis simulasi dengan rule-rule yang bisa dipertanggungjawabkan dengan
baik. Setelah lolos dengan analisis dan ujian simulatif yang ketat, baru bisa diterapkan di
dalam realitas masyarakat.
Ilmu Kompleksitas sebagai Jawaban
Kompleksitas adalah sebuah perkembangan matematika yang lahir dari teori yang
dikenal dengan sebutan teori chaos, sebuah teori yang melihat obyek sebagai sebuah
sistem yang sangat tergantung kepada kondisi awal sistem dan sangat sensitif terhadap
perubahan yang mengganggunya. Pada awal kelahirannya, teori ini dikembangkan oleh
ilmuwan meteorologi, Edwin Lorentz, yang pada akhirnya sampai kepada kesimpulannya
yang menjadi pemeo di kalangan ilmuwan chaos, “kepakan kupu-kupu di pantai Amerika
Selatan bisa menyebabkan badai besar di New York”.
Kompleksitas memandang semua sistem sebagai sebuah sistem yang senantiasa
berubah secara dinamis dan adaptif. Ia memandang sistem berubah secara iteratif dan
mengikuti similaritas tertentu dalam tiap iterasinya: sangat tergantung kepada kondisi
awal iterasi dan sangat peka terhadap gangguan di mana tiap gangguan kecil dapat
mengakibatkan perubahan besar yang muncul (emergence), tak dapat diprediksi secara
linier dari pola analisis biasa.
Sistem sosial adalah juga sistem yang evolutif yang berupaya mencari daerahdaerah
optimum sehingga ia dapat berjalan secara efektif. Inilah pernyataan yang
membangun ilmu sosial, bahwa ada similaritas tertentu sehingga ada kondisi yang sangat
mirip di berbagai fenomena sosial di berbagai belahan dunia. Namun kondisi awal berupa
faktor budaya, ekonomi, dan sosial yang berbeda serta “gangguan” sistem yang berbeda
menuntut analisis solutif yang berbeda pula untuk tiap tatanan masyarakat. Permasalahan
sosial harus dijawab secara spasio-temporal karena tingginya sensitivitas sistem sosial
tersebut.
Perkembangan teknologi komputer telah memungkinkan analisis komputasional
yang serumit apapun untuk diselesaikan. Berbagai fenomena sosial akan dapat lebih tajam
didekati dengan metode ini. Semua fenomena sosial yang selama ini didekati secara
kualitatif dapat ditarik ke level struktur permasalahan, untuk kemudian disimulasikan dan
melihat faktor besar yang mungkin muncul (emergent) untuk dapat diantisipasi dalam
realitas masyarakat yang ada. Ini menjadi perbedaan yang mendasar dengan metode
konvensional, yang berupaya mengukur semua faktor secara kuantitatif dan membuat
model statistikanya, seolah sistem sosial adalah sistem yang linier dan statik.
Bagaikan air yang mengalir dengan turbulensinya yang sangat sensitif,
demikianlah sistem sosial yang mengalir dan mudah sekali berubah. Inilah yang
menyebabkan sistem sosial sedemikian rumit bahkan dekat dengan analisis Navier-Stokes
yang menggambarkan kondisi batas tertentu sistem yang bisa membawa sistem ke dalam
kondisi chaotik hidrodinamika. Namun tentu saja dengan bermodelkan pengetahuan
analitik yang biasa digunakan dalam ilmu alam ini bukanlah satu-satunya modal dasar
untuk memahami sistem sosial dengan pendekatan ini. Setiap analisis yang lahir harus
dimodali dengan pengetahuan akan sistem sosial komprehensif dan ketat, yang selama ini
didekati dengan pendekatan kualitatif. Hal ini jelas diperlukan mengingat kerumitan
sistem sosial tersebut yang jauh lebih ruwet daripada fenomena alam biasa. Dengan
pengetahuan akan fenomena sosial yang kualitatif tadi, ilmu sosial akan menjadi kaya
dengan bagaimana melakukan pengukuran secara sintaktik sistem sosial yang ada, dan
merumuskan bagaimana sistem tersebut ber-evolusi. Itulah sebabnya perlu antar-muka
yang baik antara ilmuwan sosial yang kenal betul dengan fenomena sosial dengan
ilmuwan alam yang mungkin telah terbiasa menggunakan metode ini dalam mengamati
fenomena alam.
kesenjangan sosial
Pembukaan UUD-45 mengamanatkan pemerintah Indonesia agar memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan bangsa. Jiwa dan semangat Pasal 33 UUD-45 menghendaki agar semua produksi dan faktor produksi serta hak-milik perseorangan haruslah mempunyai fungsi sosial utk sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Islam menghendaki agar masing-masing memiliki kepekaan sosial. Agar masing-masing memikirkan memperhatikan mengupayakan peningkatan keadaan sosial ekonomi budaya bersama . Agar masing-masing memanfa’atkan sebagian rezeki penghasilan pendapatan kekayaan kepintaran kesempatan kekuatan kemampuan utk kepentingan bersama . Menabur menebar jasa. Menyebarkan beragai kebajikan dan kebaikan. Namun semuanya itu tinggal dalam impian. Tak pernah terwujud dalam kenyataan. Pemerintah penyelenggara negara baik Presiden dan para Menterinya Ketua MPR dan para angotanya semuanya sama sekali tak punya kepekaan sosial. Menghabiskan uang milyaran rupiah utk kunjungan beberapa hari ke luar negeri di tengah-tengah rakyat banyak yg kesulitan mendapatkan Uang seribu rupiah satu hari dianggap wajar. Tak pernah terbayangkan berapa jumlah para orang terlantar dapat diselamatkan dgn uang milyaran rupiah itu . Yang dijadikan alasan pembenarannya adl bahwa dgn kunjungannya ke luar negeri itu akan mengalir modal dari luar negeri triliyunan rupiah utk membuka lapangan kerja dan utk meningkatkan pendapatan rakyat banyak. Apa benar utk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak atau hanya utk keuntungan para pemodal dan suruhannya ? Benar hanya orang-orang besar saja yg lbh banyak meni’mati kekayaan alam dan hasil bumi Indonesia. Merekalah yg telah meni’mati surga Indonesia dan surga dunia. Sedikit sekali pejabat-pejabat yg bermental baik. Betapa tidak di tengah krisis ekonomi yg berkepanjangan ini masih banyak orang-orang kaya dgn belanja mewah bahkan super mewah seolah tidak perduli dgn di sekelilingnya mereka para orang-orang pinggiran. Bahkan kebanyakan tidak peduli. Meskipun semua orang berteriak-teriak tentang ambruknya perekonomian dan makin miskinnya rakyat yg sudah setara dgn negara miskin di Afrika penjualan mobil mewah seperti Jaguar berharga di atas Rp 1 milyar Bentley Aarnage Roll Royce atau Ferrari dan sejenisnya terus meningkat tiap tahun. Hal ini ditandai dgn derasnya impor mobil mewah. “Untuk tahun ini dari bulan Januari sampai Juli jumlahnya hampir 4.000 unit” kata Ketua Umum Asosiasi Importir Kendaraan Bermotor Indonesia Budiman Sirod. Mengendarai mobil semewah itu plus segala aksesori yg melekat dalam gaya hidup kaum hedonis itu tentu saja tidak murah. Hal itu tampak pada jajaran mobil yg terparkir di restoran kelas atas yg banyak bertaburan di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Di William Cafe misalnya bisa ditemukan menu makanan seharga Rp 350-500 ribu. Bahkan bila ditambah dgn wine bisa merogoh kantong sampai Rp 8 juta. Di kawasan Kemang itu juga Resto Toscana khas Italia menyediakan sajian menu utk dua orang yg cukup fantastis seharga Rp 750.000. Bagi kelompok peni’mat hidup seperti ini harga tak lagi menjadi soal krn utk sebotol minuman Chateau Paris bisa dihargai sampai Rp 18 juta sebotol. Mengiringi semua itu tentu saja pakaian yg melekat di tubuh mereka juga harus sepadan harganya. Untuk sepotong busana Armani atau Prada misalnya harus merogoh Rp 2-8 juta. Untuk rancangan lokal Adji Notonegoro saja sepotong busana bisa berharga Rp 2-20 juta. Melengkapi gaya hidup itu tidak lengkap jika tidak melilitkan jam tangan bermerek seperti Bulgary atau Christian Dior yg harganya Rp 12-20 juta sebuah. Bahkan di pusat perbelanjaan Sogo sebuah jam ada yg berharga sampai Rp 500 juta. Tempat kongkow-kongkow kelompok super ini tentu saja tak sembarangan. Biasanya mereka terlihat mengobrol di klub cerutu yg tumbuh pesat akhir-akhir ini di beberapa hotel berbintang. Sebatang cerutu Monte Cristo atau Cohibe harganya mencapai Rp 200.000. Bahkan jenis cerutu kelas atas yg diproduksi Havana Kuba misalnya bisa mencapai US$ 100 per batang. Bagi kalangan ini utk menunjukkan kejantanannya di jalanan motor Harley Davidson atau Ducati yg pusatnya berada di Jalan Fatmawati harganya berkisar Rp 90-250 juta. Dan peminatnya membludak. Dengan gaya hidup seperti ini biaya perilaku yg harus dikeluarkan sedikitnya Rp 5 juta sehari. Artinya penghasilan per bulannya tentu ratusan juta rupiah atau malah ada yg bergaji Rp 2 milyar sebulan. Di balik semua ini tak bisa dibantah terpendam kekayaan puluhan milyar rupiah. Inilah yg dincar petugas pajak utk menambal anggaran belanja negara yg menetapkan pendapatan 74% dari pajak. Diakui Budiman Sirod pajak mobil mewah saja bisa menyumbangkan 15% dari total penerimaan pajak. Jadi kalangan ini memang potensial diburu petugas pajak. Dari kalangan ini salah satu yg diburu termasuk pejabat negara yg “kaya mendadak.” Hal itu tampak pada beberapa anggota DPR yg sebelum pemilu hidupnya biasa-biasa saja tapi tiba-tiba bisa memiliki mobil mewah Lexus misalnya. Ada pula yg dulunya biasa naik bus kota menurut Komisi Penyelidikan Kekayaan Pejabat Negara kini memiliki harta puluhan milyar. Dan ini sudah menjadi rahasia umum. Majalah Forbes menempatkan pengusaha rokok Rachman Halim pemilik Gudang Garam dan Putera Sampurna dalam deretan orang kaya sedunia dgn nilai kekayaan masing-masing US 17 milyar dan US 13 milyar. Bila diteliti lbh jauh Indonesia ditaksir menyimpan kurang lbh 64.000 orang superkaya. Hal itu terlihat dari potensi aset private banking -uang yg dimiliki nasabah secara personal- yg ditaksir sebesar US$ 257 milyar. Angka tertinggi di Asia selain Jepang. Bahkan angka itu mengalahkan Taiwan yg memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Artinya tiap orang superkaya itu memiliki aset US$ 4 juta. Indonesia juga memiliki sekitar 61.000 rumah senilai di atas satu milyar rupiah. Salah satu buktinya terlihat dari kenaikan jumlah deposito yg terkumpul. Bila pada akhir 1997 jumlah deposito pribadi sebesar Rp 569 trilyun tahun berikutnya 1998 naik menjadi Rp 1826 trilyun. Hal itu akibat kebijakan uang ketat yg menggenjot bunga sampai 60% lbh pada waktu itu. Menurut sumber GAMMA ada seorang pensiunan jenderal memiliki simpanan sampai US$ 30 juta di Amerika Serikat. Artinya dari bunganya saja sebesar 5% per tahun ia bisa menghasilkan US$ 15 juta. Puluhan kali lipat dari gaji seorang presiden di AS. Wauw bukan main. Selama pejabat dan penyelenggara negara serta orang-orang superkaya lainnya tak punya mental kepekaan sosial maka tak akan pernah terwujud masyarakat aman makmur maysarakat adil makmur walaupun hanya utk waktu sesaat. Kemiskinan pengangguran gelandangan dan keadaan minus sosial masyarakat akan terus menggeliat menuntut akan keadilan kearifan kebijaksanaan akan lingkungan dimana ia berpijak menuju kepada masyarakat yg makmur sejahtera adil dan kemudian barulah aman dan damai. Lihatlah berapa banyak anak-anak yatim yg telah ditinggal mati orang tuanya krn peristiwa kerusuhan Ambon Kalimantan Aceh dan daerah-daerah lain. Berapa juta orang-orang miskin berapa ribu para pengungsi perapa puluh ribu para pengemis berapa puluh ribu para gelandangan dan pengamen di jalanan dan berjuta-juta orang-orang yg tidak meni’mati kue hasil kemerdekaan yg telah lbh dari setengah abad ini. Mereka-mereka inilah berhak atas sebagian yg dimiliki semua orang-orang kaya apalagi orang-orang super kaya dan apalagi orang-orang pejabat kaya. Semoga semuanya menyadari terutama para pejabat akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai abdi negara. Dan semoga orang-orang kaya super kaya dan para jutawan/milyalder sadar akan keberadaan dirinya yg sangat membutuhkan sesama terutama kaum lemah.
ilmu sosial
Ilmu sosial (Inggris:social science) atau ilmu pengetahuan sosial (Inggris:social studies) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif. Istilah ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas dalam berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia di masa kini dan masa lalu. Berbeda dengan ilmu sosial secara umum, IPS tidak memusatkan diri pada satu topik secara mendalam melainkan memberikan tinjauan yang luas terhadap masyarakat.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial.
Karena sifatnya yang berupa penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, di Indonesia IPS dijadikan sebagai mata pelajaran untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP/SLTP). Sedangkan untuk tingkat di atasnya, mulai dari sekolah menengah tingkat atas (SMA) dan perguruan tinggi, ilmu sosial dipelajari berdasarkan cabang-cabang dalam ilmu tersebut khususnya jurusan atau fakultas yang memfokuskan diri dalam mempelajari hal tersebut
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial.
Karena sifatnya yang berupa penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, di Indonesia IPS dijadikan sebagai mata pelajaran untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP/SLTP). Sedangkan untuk tingkat di atasnya, mulai dari sekolah menengah tingkat atas (SMA) dan perguruan tinggi, ilmu sosial dipelajari berdasarkan cabang-cabang dalam ilmu tersebut khususnya jurusan atau fakultas yang memfokuskan diri dalam mempelajari hal tersebut
Selasa, 12 Oktober 2010
abcd aku bingung cekali deh ..
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia.
Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld government yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.
Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian kuantitas.
ARAH
Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.
Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.
Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
DISORIENTASI
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.
Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.
Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.
Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada.Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.
Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).
Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.
Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.
Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
sumber : http://www-errol273ganteng.blogspot.com/2010/09/disorientasi-penegakan-hukum.html
Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld government yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.
Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian kuantitas.
ARAH
Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.
Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.
Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
DISORIENTASI
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.
Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.
Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.
Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada.Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.
Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).
Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.
Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.
Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
sumber : http://www-errol273ganteng.blogspot.com/2010/09/disorientasi-penegakan-hukum.html
Senin, 04 Oktober 2010
Dokter berjiwa sosial super duper tinggi...
Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.
Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.
Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.
Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.
Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang banyak?”
Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.
Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.
Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.
Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”
Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.
Kerusuhan 1998
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.
”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.
Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.
Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.
”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.
Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.
”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.
Anugerah
Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.
Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.
Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.
Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana,” ujarnya.
Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.
Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.
”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?” ujar Lo.
Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan.”
DATA DIRI
nih tersangkanya !!
• Nama: Lo Siaw Ging • Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 • Istri: Maria Gan May Kwee (62) • Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 • Profesi: - Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo
sumber : http://kesehatan.kompas..com/read/xml/2009/07/16/09405225/dokter.lo.siaw.ging.tak.sudi.berdagang
NB. Bukannkah seharusnya orang2 yang begini yang mendapatkan gelar dari Keraton Solo dibandingkan dengan Manohara yang ga jelas pengabdiannya,yang hanya terkenal gara2 urusan rumah tangganya lantas mendapat gelar Kanjeng Mas Ayu Tumenggung.Bukannya jealous gan tapi aneh aja...
Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.
Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.
Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.
Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang banyak?”
Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.
Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.
Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.
Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”
Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.
Kerusuhan 1998
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.
”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.
Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.
Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.
”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.
Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.
”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.
Anugerah
Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.
Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.
Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.
Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana,” ujarnya.
Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.
Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.
”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?” ujar Lo.
Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan.”
DATA DIRI
nih tersangkanya !!
• Nama: Lo Siaw Ging • Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 • Istri: Maria Gan May Kwee (62) • Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 • Profesi: - Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo
sumber : http://kesehatan.kompas..com/read/xml/2009/07/16/09405225/dokter.lo.siaw.ging.tak.sudi.berdagang
NB. Bukannkah seharusnya orang2 yang begini yang mendapatkan gelar dari Keraton Solo dibandingkan dengan Manohara yang ga jelas pengabdiannya,yang hanya terkenal gara2 urusan rumah tangganya lantas mendapat gelar Kanjeng Mas Ayu Tumenggung.Bukannya jealous gan tapi aneh aja...
Langganan:
Postingan (Atom)