Harus diakui bahwa saat ini bangsa Indonesia saat ini berada di tepi jurang krisis
multidimensional yang benar-benar menakutkan. Krisis demi krisis bermunculan di surat
kabar, mulai dari krisis ekonomi dan moneter, krisis politik, krisis hukum, krisis moral,
krisis berkepanjangan, krisis kepribadian nasional, dan berpuluh-puluh frasa dengan kata
krisis, sehingga justru malah sering menimbulkan ambiguitas pemaknaan kata krisis itu
sendiri. Tiap orang dengan sekenanya menggunakan kata “krisis” tanpa sering mendalami
apa sebenarnya krisis, dan mengapa kata “krisis” ditempatkan di sana. Semua orang
sepertinya boleh membentuk frasa dengan kata krisis, dan yang lebih aneh lagi, frasa itu
terasa masuk akal dengan realitas sosial yang memang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Penyakit Bangsa yang tak Terdiagnosis
Menilik pendefenisian kata “krisis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pengertian dari kata “krisis” adalah 1) keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit,
2) keadaan yang genting, kemelut, 3) keadaan yang suram (tentang ekonomi, moral, dan
sebagainya. Dengan demikian disesuaikan dengan frasa yang terbentuk, maka kondisi
Indonesia memang tergambarkan sangat berbahaya dan menakutkan. Indonesia saat ini
membutuhkan treatment yang luar biasa intensif, di mana sekadar hasil diagnosa yang
menyertakan frasa dengan kata krisis di depannya, tak mungkin cukup.
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah permasalahan
sosial dan kultural. Semua orang dengan mudah melabelkan frasa dengan kata “krisis”
karena diagnosis terhadap penyakit Indonesia yang tak kunjung dirumuskan dengan baik.
Semua orang merasa dirinya cukup representatif untuk menjadi ilmuwan sosial untuk
memberikan diagnosis sehingga tak seorangpun dari kita memiliki rumusan yang benar,
apa yang sebenarnya dihadapi oleh bangsa kita.
Ini semua terjadi karena ilmu sosial adalah ilmu yang telanjur dianggap mudah
oleh anak-anak bangsa. Ilmu sosial dianggap sebagai ilmu hafalan dan cenderung retoris
bahkan tidak terlalu membutuhkan kemampuan analitik. Ilmu pengetahuan alam yang
cenderung lebih matematis jauh lebih dianggap bergengsi. Akhirnya lahirlah “sarjana”
hukum, “ahli” antropolog, “ahli” ekonomi, “ahli” sosiologi, “ahli” sejarah kebanyakan
yang mengandalkan adu mulut. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa mereka yang
berada di area ilmu pengetahuan alam dan teknologi – dengan anggapan akan kemudahan
ilmu sosial – dengan sekenanya memberi berbagai komentar akan apa yang seharusnya
menjadi area bermain ilmuwan sosial - tanpa memiliki pengetahuan bahkan rujukan
pustaka yang cukup.
Benarkah ilmu sosial lebih mudah daripada ilmu alam? Di mata awam, ilmu alam
sarat dengan rumus-rumus matematika yang cenderung sulit untuk dipahami. Sementara
formulasi matematika, di kalangan ilmuwan sosial seringkali dianggap sarat
reduksionisme, kuantifikasi yang naif, karena menganggap bahwa terlalu banyak hal di
bidang sosial yang tak mungkin diukur dan didekati secara kuantitatif. Akibatnya adalah
timbulnya polaritas yang bukan lagi antara ilmu sosial dan ilmu alam, namun lebih
dangkal lagi yakni antara ilmu kualitatif dan ilmu kuantitatif. Dengan sekenanya timbul
pelabelan bahwa ilmu alam itu kuantitatif sementara ilmu sosial kualitatif. Pelabelan inilah
yang merusak tatanan ilmu sosial, karena perdebatan ilmu bukan lagi akan obyek yang
akan didekati, namun lebih kepada metodologi apa yang digunakan untuk mendekati
obyek permasalahan. Apa yang seharusnya dapat didekati secara kuantitatif atau ditarik ke
dalam struktur aljabar yang ketat ditinggalkan, sehingga berakibat tumpulnya analisis
yang dihasilkan.
Yang diukur dan dianalisis dari sebuah fenomena alam adalah faktor-faktor yang
cenderung tetap dengan universalitas yang dapat dilokalisasi dengan mudah, sehingga
analisis ilmu alam di Eropah akan bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia, dengan
memperhatikan variabel-variabel lokal yang mudah dideteksi, seperti percepatan gravitasi,
kelembaban udara, dan seterusnya. Berlawanan dengan hal itu, ilmu sosial berhadapan
dengan manusia sebagai penentu utama variabel tersebut. Sudah sangat terbukti bahwa
analisis sosiologis atau ekonomi yang berkembang di negara maju belum tentu efektif di
Indonesia. Ada similaritas di dalam berbagai fenomena sosial di seluruh dunia, namun
tidak sama. Contohnya, krisis di Eropa memiliki similaritas dengan di Indonesia, namun
tentunya tidak sama oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan kultur dan ideologi yang
berkembang. Meminjam istilah yang kerap digunakan dalam ilmu alam, terlalu banyak
noise atau pengganggu (disturbance) dalam berbagai fenomena sosial. Artinya pendekatan
analitis dalam ilmu sosial harus benar-benar kuat di mana asumsi-asumsi yang lahir dan
menjadi aksiomanya harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode pemodelan
permasalahan sosial tidak boleh dibuat sekenanya karena berbeda dengan ilmu alam, ilmu
sosial tidak memiliki laboratorium untuk mencobanya secara trial and error.
Laboratorium sosial adalah masyarakat itu sendiri, artinya pemodelan fenomena sosial
harus dibuat berbasis simulasi dengan rule-rule yang bisa dipertanggungjawabkan dengan
baik. Setelah lolos dengan analisis dan ujian simulatif yang ketat, baru bisa diterapkan di
dalam realitas masyarakat.
Ilmu Kompleksitas sebagai Jawaban
Kompleksitas adalah sebuah perkembangan matematika yang lahir dari teori yang
dikenal dengan sebutan teori chaos, sebuah teori yang melihat obyek sebagai sebuah
sistem yang sangat tergantung kepada kondisi awal sistem dan sangat sensitif terhadap
perubahan yang mengganggunya. Pada awal kelahirannya, teori ini dikembangkan oleh
ilmuwan meteorologi, Edwin Lorentz, yang pada akhirnya sampai kepada kesimpulannya
yang menjadi pemeo di kalangan ilmuwan chaos, “kepakan kupu-kupu di pantai Amerika
Selatan bisa menyebabkan badai besar di New York”.
Kompleksitas memandang semua sistem sebagai sebuah sistem yang senantiasa
berubah secara dinamis dan adaptif. Ia memandang sistem berubah secara iteratif dan
mengikuti similaritas tertentu dalam tiap iterasinya: sangat tergantung kepada kondisi
awal iterasi dan sangat peka terhadap gangguan di mana tiap gangguan kecil dapat
mengakibatkan perubahan besar yang muncul (emergence), tak dapat diprediksi secara
linier dari pola analisis biasa.
Sistem sosial adalah juga sistem yang evolutif yang berupaya mencari daerahdaerah
optimum sehingga ia dapat berjalan secara efektif. Inilah pernyataan yang
membangun ilmu sosial, bahwa ada similaritas tertentu sehingga ada kondisi yang sangat
mirip di berbagai fenomena sosial di berbagai belahan dunia. Namun kondisi awal berupa
faktor budaya, ekonomi, dan sosial yang berbeda serta “gangguan” sistem yang berbeda
menuntut analisis solutif yang berbeda pula untuk tiap tatanan masyarakat. Permasalahan
sosial harus dijawab secara spasio-temporal karena tingginya sensitivitas sistem sosial
tersebut.
Perkembangan teknologi komputer telah memungkinkan analisis komputasional
yang serumit apapun untuk diselesaikan. Berbagai fenomena sosial akan dapat lebih tajam
didekati dengan metode ini. Semua fenomena sosial yang selama ini didekati secara
kualitatif dapat ditarik ke level struktur permasalahan, untuk kemudian disimulasikan dan
melihat faktor besar yang mungkin muncul (emergent) untuk dapat diantisipasi dalam
realitas masyarakat yang ada. Ini menjadi perbedaan yang mendasar dengan metode
konvensional, yang berupaya mengukur semua faktor secara kuantitatif dan membuat
model statistikanya, seolah sistem sosial adalah sistem yang linier dan statik.
Bagaikan air yang mengalir dengan turbulensinya yang sangat sensitif,
demikianlah sistem sosial yang mengalir dan mudah sekali berubah. Inilah yang
menyebabkan sistem sosial sedemikian rumit bahkan dekat dengan analisis Navier-Stokes
yang menggambarkan kondisi batas tertentu sistem yang bisa membawa sistem ke dalam
kondisi chaotik hidrodinamika. Namun tentu saja dengan bermodelkan pengetahuan
analitik yang biasa digunakan dalam ilmu alam ini bukanlah satu-satunya modal dasar
untuk memahami sistem sosial dengan pendekatan ini. Setiap analisis yang lahir harus
dimodali dengan pengetahuan akan sistem sosial komprehensif dan ketat, yang selama ini
didekati dengan pendekatan kualitatif. Hal ini jelas diperlukan mengingat kerumitan
sistem sosial tersebut yang jauh lebih ruwet daripada fenomena alam biasa. Dengan
pengetahuan akan fenomena sosial yang kualitatif tadi, ilmu sosial akan menjadi kaya
dengan bagaimana melakukan pengukuran secara sintaktik sistem sosial yang ada, dan
merumuskan bagaimana sistem tersebut ber-evolusi. Itulah sebabnya perlu antar-muka
yang baik antara ilmuwan sosial yang kenal betul dengan fenomena sosial dengan
ilmuwan alam yang mungkin telah terbiasa menggunakan metode ini dalam mengamati
fenomena alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar