Rabu, 27 Oktober 2010

kematian ilmu sosial di indonesia

Dalam makalahnya, Prof. Sunyoto Usman mengatakan buku yang terkenal dari Selo Soemardjan adalah “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial masyarakat Jawa di Yogyakarta. Faktor penting dalam perubahan masyarakat Jawa adalah ideologi politik,
“Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2 hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara, dari dalam posisi sub-ordinasi (didominasi, diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat, transparansi dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik dan otokratis menjadi pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik semacam ini bukan sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih, mengembangkan dan mempertahankan  kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia.” (Sunyoto Usman dalam Makalah “Selo Soemardjan, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Jejaring”)
Tidak seperti revolusi sosial di Perancis yang digerakkan oleh kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk menggulingkan kekuasaan raja yang absolut, perubahan sosial di Yogyakarta malah digerakkan oleh pucuk pimpinan dan pemilik kekuasaan itu sendiri yakni Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sehingga para bangsawan dan rakyat secara keseluruhan melihat perubahan yang digulirkan oleh sang Raja sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk perbaikan ke depan.  Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa gejolak yang berarti, meskipun membongkar sebagian sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai harmoni telah berhasil membawa perubahan tanpa berdarah-darah. Namun, saat ini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita cendrung mengabaikan nilai-nilai harmonisasi ini. Produk politik yang memberlakukan pemilihan kepala daerah, presiden dan wakil presiden melalui pemilihan langsung telah membelah masyarakat pada kandidat-kandidat yang bertarung. Segmentasi yang terjadi terus meruncing dalam kampanye-kampanye negatif, saling menjatuhkan. Maka upaya perangkulan (koalisi) setelah pemilihan menjadi sia-sia, karena pendukung masing-masing kandidat sudah membawa alam bawah sadar kebencian satu sama lain.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai pelopor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan dukungan teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu kepada rakyat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka sekat-sekat ketat kraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan menjadikan kraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun untuk kepentingan bersama. Sejarah UGM menggambarkan keterbukaan itu. Bagaimana di awal-awal pendirianya, UGM memakai beberapa ruang di kraton untuk kegiatan kuliah. Kita tidak melihat keterbukaan seperti ini pada kesultanan-kesultanan lain yang ada di Indonesia.
Perubahan sosial membutuhkan teori baru dan metodologi baru seiring perkembangan masyarakat.  Di sisi lain, teori baru dan metodologi baru lahir dari penelitian serius terhadap fenomena yang terjadi pada masyarakat. Pemikiran Selo Soemardjan secara cerdas dan komprehensif berhasil memotret perubahan sosial di Yogyakarta. Namun, cukup berat untuk membawa analisis yang beliau pakai untuk konteks sekarang. Oleh karena itu, diperlukan ilmuan-ilmuan sosial baru yang mampu memotret kondisi masyarakat saat ini.
Kebutuhan terhadap lahirnya ilmuan-ilmuan baru yang mampu menawarkan teori baru dalam menelisik fenomena sosial, menurut Prof. Sunyoto mengalami kemandegan. Hal ini disebabkan perguruan tinggi sebagai agent pencetak intelektual mengalami krisis. Ada 3 krisis yang dialami oleh perguruan tinggi: Pertama, mahasiswa pascasarjana yag diharapkan mampu memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “patner diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak professor yang  dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan DIKTI sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh kata Prof. Sunyoto, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena dan masalah secara monolog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar