Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama
Tidak diragukan lagi kalau ilmu perbandingan agama modern suah dimulai oleh Max Muller, lebih kurang satu abad yang lampau. Pada tahun 1856 terbit bukunya yang pertama Comparative Mithology, dan pada tahun 1870 menyusul diterbitkan Introduction to the Sience of Religion. Penerbitan buku tersebut diikuti dengan pemberian kuliah yang berjudul Asal-Usul Dan Pertumbuhan Agama Sebagaimana Digambarkan Dalam Agama-Agama India di tahun 1878. Babak awal studi tersebut diwarnai oleh antusias yang sangat kuat, keinginan yang sungguh-sungguh untuk memahami agama yang lain, dan oleh kebutuhan yang bersifat spekulatif. Di anatara keanekaragaman bentuk pengalaman keagamaan mitologi memperoleh perhatian yang istimewa. Karena penelitian bahasa, sejarah, dan filsafat pada masa itu masih campur aduk, sementara teology mulai diabaikan.
Istilah-istilah science of religion dimaksudkan untuk menunjukkan pemisahan ilmu baru tersebut dari filsafat agama dan terutama dari thelogi. Ada dorongan kuat untuk mulai memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia seperti teks-teks suci yang dalam beberapa hal menurut berbagai macam tradisi keagamaan suku, bangsa, dan masyarakat yang berbeda-beda.
Ketika perang dunia pertama meletus terjadi beberapa perubahan pentng. Historisisme yang menguasai abad itu, secara berangsur mulai surut meskipun penelitian-penelitian bahasa, sejarah, dan psikologis masih berlanjut dan metode positivistis tetap bertahan di beberapa tempat. Ernst Troeltsch, yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai pembimbing dan tokoh aliran sejarah agama, secara jelas menyinggung masalah tersebut dalam karya utamanya, Der Historismus. Arus sejarah yang melarutkan setiap fenomena tidak dapat memberikan normanorma bagi kepercayaan dan perbuatan, padahal kehidupan tanpa norma-norma semacam itu dirasakan bukan sebagai kehidupan yang layak. Hal yang sama juga telah ditandaskan secara tajam dan tegas oleh Nietzsche dalam Onzeitgemanse Betrachtungen di awal tahun 1873. Dengan terjadinya pergantian abad, maka filsafat dan teology, yang semula telah runtuh menjadi epistemology teknis atau penelitian sejarah, mulai bangkit kembali. Dengan demikian babak ketiga dalam ilmu kita ini mulai menapak batas baru dalam filsafat kaum neo-Kantian, Bergson, dan para ahli fenomenologi; dalam pemikiran Katolik von Hugel dan Scheler; dan dalam teologi Protestan Soderblom, Barth, dan Otto. Permulaan masa baru tersebut diwarnai oleh tiga hal : pertama, keinginan untuk mengatasi perselisihan-perselisihan yang timbul akibat spesialisasi dan pembidanan yang terlalu berlebihan, melalui suatu pandangan yang terpadu; kedua, keinginan penetrasi yang lebih jauh ke kedalaman hakikat pengalaman keagamaan; dan ketiga, pembahasan masalah-masalah epistemologis yang wujud-akhirnya bersifat metafisis.
Dalam ketiga periode yang telah dikemukakan di atas tak pelak lagi telah banyak terjadi kerja sama internasional di antara kalangan para sarjana Eropa, Asia dan Amerika. Penelitian-penelitian sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama yang dilakukan oleh Jordan, Lehmann, Pinard de la Boullaye, dan yang lebih kemudian oleh Puech, Mensching, Widengren, dan Masson-Oursel telah melihatkan keluasan kerja sama ini. Sarjana-sarjana Asia yang laun berperan serta dalam usaha ini, khusus yang menyandang nama Muslim, Hindu, China dan Jepang patut memperoleh perhatian istimewa di samping nama-nama besar para sarjana Birma, Siam, Pilipina, Negara-negara Arab, Pakistan, Indonesia. Lagipula, para peneliti Barat sudah mulai menyadari pentingnya dukungan para peneliti lain yang betul-betul dibesarkan dalam tradisi keagamaan non-Kristen, agar benar-benar dapat disimpulkan sebuah peniliaian yang tepat dalam memahami fenomena yang dipelajari. Pada masa positivism, uraian-uraian yang “asli” seringkali diacuhkan bahkan diragukan. Hanya cara cermat Barat saja yang dapat diterima. Jelas bahwa keinginan para sarjana Timur untuk menambil alih cara-cara penelitian Barat yang sistematis itu akan lebih menjanjikan sumbangan-sumbangan yang berharga bagi pengembanganilmu kita ini.
Kerja sama ini tetap erpelihara baik melalui sejumlah Konfrensi Internasional sejarah agama. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa suasana politik dan pengaruh kedua Perang Dunia yang besar telah menimbulakan banyak kesulitan untuk mempertahankan standar yang telah dirumuskan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya dilihat dari segi universalitas dan pentingnya topic-topik yang telah dibicarakan. Sejak akhir babak pertama di mana telah terjalin hubungan antara para sarjana dari pebagai bangsa dan agama, sudah mulai terlihat bayangan sinkritisme yang mewarnai beberapa pertemuan para sarjana di sekitar pergantian abad yang lampau itu sehingga menyulitkan pencapaian pengertian kesadaran keagamaan yang baru dan juga melemahkan kecermatan penelitian yang muncul dari minat filsafat yang kuat dan bersifat konstruktif .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar